Tanggapan Petani Sukses Tentang Indeks Kompleksitas Ekonomi Indonesia

oleh -169 views

Tcunews.com || Jakarta – Indeks Kompleksitas Ekonomi, merupakan alat kontrol ukuran sebuah negara keterlibatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam mengelola perekonomian di tengah masyarakatnya.

Sederhananya kemampuan masyarakat menerapkan iptek dalam kesehariannya. Pendek kata, iptek dari sekolahnya diterapkan dalam kehidupan sejauh mana. ” Dihafal saja atau dipraktikkan. ”
ujar Wayan petani sukses asal Banyuwangi Alumni Universitas Airlangga (UNAIR) angkatan 87 Program Studi D-III Fisioterapi Fakultas Non-Gelar Kesehatan (FNGK).

Indikasi utamanya, saat ekspor sukanya barang mentah bahan baku industri harga murahan atau barang jadi beragam dari barang mentah tersebut. Sehingga harganya mahal devisa dapat banyak.

Di Asean, Indeks Kompleksitas Ekonomi Indonesia ” terendah “. Kalah dibandingkan Singapura (1,68), Malaysia (1,12), Thailand (1,11), Filipina (0,84), Vietnam (0,18), Kamboja (0,20) dan Indonesia (0,07).

Kondisi ini, mencerminkan bahwa pendidikan Indonesia hanya sebatas dipahami dan dihafal saja tanpa dipraktikkan di lapangan. Juga mencerminkan hasil penelitian kita tidak dipraktikkan oleh masyarakat.

Daya nalar analisis bisnis dari intuisinya juga rendah. Kurang ” asupan entrepreneurship ” di sekolah maupun di perguruan tinggi. Sehingga minim ” daya juang ” untuk praktik bisnis inovatifnya.

Malas mengurai bahan baku jadi produk bernilai. Sehingga yang diekspor bahan baku. Bukan barang jadi nuansa inovasi. Dampaknya devisa didapat sangat rendah walaupun volumenya sangat besar.

Ini erat kaitan dengan lemahnya pendidikan di Indonesia dalam membentuk ” insan entrepreneur “, pencipta lapangan kerja. Hanya melahirkan calon pencari kerja, jika gagal maka jadi pengangguran.

Tercermin dari minimnya jumlah wirausaha di Indonesia sangat rendah prosentasenya. Singapura (8,76%), Malaysia (4,8%), Thailand (4,5%) dan Indonesia (3,47%). Padahal syarat jadi negara maju minimal 8%.

Kondisi ini mencerminkan pada implikasi produktivitas masyarakatnya. Makin banyak prosentase jumlah pengusaha di sebuah negara, otomatis makin tinggi pendapatan per kapita negara tersebut. Bersifat linier.

Pendapatan per kapita negara Asean Singapura ($ 37.667), Malaysia ($ 11.972), Thailand ($ 7.650) dan Indonesia ($ 4.798). Padahal syarat mutlak menjadi negara maju harus minimal $ 12.000 atau setara Rp 16,5 juta/kapita/bulan.

Jumlah entrepreneur sangat berpengaruh terhadap pendapatan per kapita. Jika Indonesia mau jadi negara maju tahun 2024, harus menambah jumlah entrepreneur hingga 8%, agar pendapatan per kapita minimal $ 12.000.

Contoh.

Presiden Jokowi menyampaikan di Surabaya saat Konferensi dan Pameran Kelapa Internasional 22 Juli 2024. Bahwa devisa dari kelapa Rp 25,1 triliun. Dari luas kebun kelapa 3,8 juta hektar dengan volume produksi 2,8 juta ton/tahun.

Ketua Bidang Kerjasama Kelembagaan Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI), Amrizal mengatakan produksi kelapa kita sekitar 15 miliar butir. Tapi yang dihilirisasi hanya 1 miliaran butir saja.

Ini pertanda suka ekspor kelapa glondongan, malas berpikir dan bertindak inovatif di ruas hilir. Iptek hanya dipahami dan dihafal, tidak diterapkan. Lalu devisa dapat sedikit. Nilai tambah dinikmati RRC sebagai importir kelapa terbesar Indonesia.

Pertanda juga perguruan tinggi masih ” gagal ” melahirkan entrepreneur di bidang industri kelapa ruas hilir. Minim nuansa inovatif. Lalu pengangguran prosentasenya hampir terbanyak di Asean. Daya beli jadi rendah, semua jadi terasa sangat mahal.

Konkretnya, kelapa glondongan diekspor ke RRC belasan miliar butir. Oleh RRC air kelapa dijadikan nata de coco sudah impas balik modal bahan baku. Masih dapat VCO, karbon aktif, jok mobil dan lainnya. Bisa diekspor harga murah ke seluruh dunia.

Ilmu hikmahnya, sangat wajar jika RRC saat ini banyak produknya jadi ” market leader ” di banyak negara. Karena murah sekali, bahan bakunya banyak sekali berlimpah dan berkelanjutan, salah satunya produk turunan kelapa dari Indonesia.

Sesungguhnya itu akibat dari iptek kita hanya dihafal bukan diterapkan. Kita belum membiasakan berpikir inovatif di lapangan. Jumlah entrepreneur yang dihasilkan perguruan tinggi sangat sedikit. Sehingga Indeks Kompleksitas Ekonomi Indonesia terendah di Asean. “tutur Wayan yang di tulis dalam artikel PAK TANI. (Brei)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *